Friday, October 12, 2018

Tata cara menggunakan siwak sesuai sunnah

TATA CARA MENGGUNAKAN SIWAK SESUAI SUNNAH

Assalamu’alaikum kembali bersama belajar sunnah bersama,  kali ini akan di bahas bagaimana menggunakan siwak sesuai sunnah sehingga di harapkan penggunaan siwak dapat lebih bermanfaat, lalu bagaimana tata cara penggunaan kayu siwak tersebut sesuai sunnah.

Padahal didalam kitab para ulama telah menerangkan tata cara penggunaan siwak ini sesuai sunnah nabi, yaitu dengan cara menjadikan jari kelingking dari tangan kanan di bawah ujung paling bawah dari siwak tersebut, dan jari manis, jari tengah dan jari telunjuk diletakkan di atasnya sedangkan ibu jarinya diletakkan di bawah ujung paling atas dari siwak itu.

 Juga sunnah unttuk membaca niat bersiwak seperti berikut:

 “Saya niat bersiwak karena Allah Ta’ala”.




Dan cara yang sunnah dalam memakainya adalah dengan menggunakan diantara gigi dengan cara menggosokkan siwak itu melebar dari arah kanan ke kiri, dimulai dari bagian giginya yang sebelah kanan lalu yang sebelah kiri seperti angka delapan 8, jadi dimulai dari atas sebelah kanan kita gosokkan sampai ke ujungnya kemudian kearah bawahnya dan kita gosokkan kearah tengah, dan setelah sampai ditengah kita angkat lagi keatas dari giginya yang sebelah kiri lalu kita gosokkan sampai di ujungnya setelah itu kita arahkan ke bagian bawah digosokkan kearah tengah dan begitu seterusnya, bukan dengan cara menggosokkan dari atas ke bawah karena hal itu akan menyebabkan giginya akan berdarah.

Perlu diperhatikan, sunnah hukumnya agar siwak yang dipakai tidak lebih dari ukuran sekilan tangan manusia dan tidak kurang dari empat jari panjangnya, sedangkan besar kecilnya disunnahkan untuk tidak lebih kecil dari jari kelingking dan tidak lebih besar dari ibu jari. Begitu pula disunnahkan untuk menelan air ludah yang bercampur dengan getah dari kayu arok tatkala digunakan pertama kali akan tetapi tidak disunnahkan untuk menghisap ujung siwak setelah menggunakannya. Dan juga sunnah hukumnya membersihkan gigi dengan tusuk gigi sebelum dan sesudah bersiwak, dan makruh hukumnya jika mencelupkan siwak tersebut ke dalam air yang akan digunakan untuk wudlu’nya, begitu pula makruh hukumnya menggunakan siwak tersebut dari dua sisi (atas dan bawah sama-sama digunakan)




Ketika bersiwak maka sunnah hukumnya membaca doa saat memakai siwak seperti 

ALLAHUMMA BAYYIDL BIHI ASNAANII WA;SYUDDA BIHI LITSTSATII WA;TSABBIT BIHI LAHAATII WA;AFSHIH BIHI LISAANII WABAARIK LII FIIHI WA;ATSBITNII ‘ALAIHI YAA ARHAMARROOHIMIIN

“Ya Allah putihkan gigiku dan kuatkan gusiku, serta kuatkan lahatku (daging yang tumbuh di atas langit-langit mulut) dan fasihkan lidahku dengan siwak itu serta berkatilah siwak tersebut dan berilah pahala aku karenanya, wahai Dzat paling mengasihi diantara para pengasih”.

Demikian postingan dari belajar sunnah bersama yang dirangkum dari berbagai sumber semoga dapat bermanfaat. 

 

Tuesday, October 2, 2018

4 Pendapat terkait sholat berjamaah

Terkait sholat berjamaah di kalangan ulama berkembang banyak pendapat tentang hukum shalat berjamaah. Ada yang mengatakan fardhu `ain, sehingga orang yang tidak ikut shalat berjamaah berdosa. Ada yang fardhu kifayah sehingga bila sudah ada shalat jamaah, gugurlah kewajiban orang lain untuk harus shalat berjamaah. Ada yang bilang bahwa shalat jamaah hukumnya fardhu kifayah. Dan ada juga yang mengatakan hukumnya sunnah muakkadah.



Berikut 4 pendapat terkait sholat berjamaah  beserta dalil masing-masing.
1. Pendapat Pertama: Fardhu Kifayah
Yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Asy-Syafi`i dan Abu Hanifah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam kitab Al-Ifshah jilid 1 halaman 142. Demikian juga dengan jumhur (mayoritas) ulama baik yang lampau (mutaqaddimin) maupun yang berikutnya (mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat kebanyakan ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah.
Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada yang menjalankannya, maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya. Sebaliknya, bila tidak ada satu pun yang menjalankan shalat jamaah, maka berdosalah semua orang yang ada di situ. Hal itu karena shalat jamaah itu adalah bagian dari syiar agama Islam.
Dari Abi Darda` ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya." (HR Abu Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan)
Dari Malik bin Al-Huwairits bahwa Rasulullah SAW, `Kembalilah kalian kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka shalat dan perintahkan mereka melakukannya. Bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah seorang kalian melantunkan azan dan yang paling tua menjadi imam.(HR Muslim 292 – 674).
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR Muslim 650, 249)
Al-Khatthabi dalam kitab Ma`alimus-Sunan jilid 1 halaman 160 berkata bahwa kebanyakan ulama As-Syafi`i mengatakan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu `ain dengan berdasarkan hadits ini.
2. Pendapat Kedua: Fardhu `Ain
Yang berpendapat demikian adalah Atho` bin Abi Rabah, Al-Auza`i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al-Hanafiyah dan mazhab Hanabilah. Atho` berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan tidak halal selain itu, yaitu ketika seseorang mendengar azan, haruslah dia mendatanginya untuk shalat. (lihat Mukhtashar Al-Fatawa Al-MAshriyah halaman 50).
Dalilnya adalah hadits berikut:
Dari Aisyah ra berkata, `Siapa yang mendengar azan tapi tidak menjawabnya (dengan shalat), maka dia tidak menginginkan kebaikan dan kebaikan tidak menginginkannya. (Al-Muqni` 1/193)
Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat jamaah tanpa uzur, dia berdoa namun shalatnya tetap syah.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api." (HR Bukhari 644, 657, 2420, 7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).

Hukum dan dia iftitah

3. Pendapat Ketiga: Sunnah Muakkadah
Pendapat ini didukung oleh mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah sebagaimana disebutkan oleh imam As-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar jilid 3 halaman 146. Beliau berkata bahwa pendapat yang paling tengah dalam masalah hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah. 
Al-Karkhi dari ulama Al-Hanafiyah berkata bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya kecuali karena uzur. Dalam hal ini pengertian kalangan mazhab Al-Hanafiyah tentang sunnah muakkadah sama dengan wajib bagi orang lain. Artinya, sunnah muakkadah itu sama dengan wajib. (silahkan periksan kitab Bada`ius-Shanai` karya Al-Kisani jilid 1 halaman 76).
Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah dalam kitabnya Al-Mukhtashar mengatakan bahwa shalat fardhu berjamaah selain shalat Jumat hukumnya sunnah muakkadah. Lihat Jawahirul Iklil jilid 1 halama 76.
Dalil yang mereka gunakan untuk pendapat mereka antara lain adalah dalil-dalil berikut ini:
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR Muslim 650, 249)
Ash-Shan`ani dalam kitabnya Subulus-Salam jilid 2 halaman 40 menyebutkan setelah menyebutkan hadits di atas bahwa hadits ini adalah dalil bahwa shalat fardhu berjamaah itu hukumnya tidak wajib.
Selain itu mereka juga menggunakan hadits berikut ini:
Dari Abi Musa ra berkata bahwa Rasulullah SAw bersabda, `Sesungguhnya orang yang mendapatkan ganjaran paling besar adalah orang yang paling jauh berjalannya. Orang yang menunggu shalat jamaah bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur. (lihat Fathul Bari jilid 2 halaman 278)
4. Pendapat Keempat: Syarat Syahnya Shalat
Pendapat keempat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum syarat fardhu berjamaah adalah syarat syahnya shalat. Sehingga bagi mereka, shalat fardhu itu tidak syah kalau tidak dikerjakan dengan berjamaah.
Yang berpendapat seperti ini antara lain adalah Ibnu Taymiyah dalam salah satu pendapatnya (lihat Majmu` Fatawa jilid 23 halaman 333). Demikian juga dengan Ibnul Qayyim, murid beliau. Juga Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa serta mazhab Zhahiriyah (lihat Al-Muhalla jilid 4 halaman 265). Termasuk di antaranya adalah para ahli hadits, Abul Hasan At-Tamimi, Abu Al-Barakat dari kalangan Al-Hanabilah serta Ibnu Khuzaemah.
Dalil yang mereka gunakan adalah:
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAw bersaba, `Siapa yang mendengar azan tapi tidak mendatanginya, maka tidak ada lagi shalat untuknya, kecuali karena ada uzur.(HR Ibnu Majah793, Ad-Daruquthuny 1/420, Ibnu Hibban 2064 dan Al-Hakim 1/245)
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak. Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api." (HR Bukhari 644, 657, 2420, 7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW didatangi oleh seorang laki-laki yang buta dan berkata, "Ya Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku ke masjid. Rasulullah SAW berkata untuk memberikan keringanan untuknya. Ketika sudah berlalu, Rasulullah SAW memanggilnya dan bertanya, `Apakah kamu dengar azan shalat?`. `Ya`, jawabnya. `Datangilah`, kata Rasulullah SAW. (HR Muslim 1/452).
Kesimpulan:
Setiap orang bebas untuk memilih pendapat manakah yang akan dipilihnya. Dan bila kami harus memilih, kami cenderung untuk memilih pendapat menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah muakkadah, karena jauh lebih mudah bagi kebanyakan umat Islam serta didukung juga dengan dalil yang kuat. Meskipun demikian, kami tetap menganjurkan umat Islam untuk selalu memelihara shalat berjamaah, karena keutamaannya yang disepakati semua ulama.

Monday, October 1, 2018

Hukum dan doa iftitah

Hukum dan doa iftitah
Doa iftitah 
Adalah doa pembuka yang dibacakan pada saat sholat, tepatnya pada saat setelah kita melakukan takbiratul ihram (takbir yang pertama setelah membaca niat), disinilah kita disunahkan untuk dapat membaca doa iftitah ini sebelum kita membaca surat al-fatihah, untuk bacaan doa iftitah lengkap dengan arab dan latinnya kita bisa mempelajarinya pada artikel di bawah ini. 
kita mendapatkan doa iftitah yang diajarkan Rasulullah ternyata cukup beragam. Ada yang pendek, ada yang cukup panjang. Intinya adalah memuji Allah, memuliakan dan menyanjung-Nya. 
Untuk artikel di bawah ini sengaja hanya 1 doa iftitah saja yang di bahas,  yaitu yang banyak digunakan saat menjalankan ibadah sholat. 


Hukum Doa Iftitah
Doa iftitah hukumnya sunnah. Ia termasuk salah satu sunnah dalam sholat. Meskipun demikian, sholat tidak sempurna tanpa doa iftitah. Sebagaimana sabda beliau:
“Sholat seseorang tidak sempurna hingga ia bertakbir memuji Allah dan menyanjungnya kemudian membaca Alquran yang mudah baginya” (HR. Abu Daud dan Hakim; shahih)
Berikut merupakan doa iftitah dalam bahasa Arab dan Latin serta terjemahannya: 



LATINNYA : Allahu akbar kabiiroo wal-hamdu lillaahi katsiiro wa subhaanallaahibukrotaw wa ashiilaa



LATINNYA : Innii wajjahtu wajhiya lil-ladzii fathoros-samaawaati wal ardho haniifam muslilaw wamaa ana minal-musyrikiin.



LATINNYA : Innaa sholaatii wanusukii wamahyaaya wamamaatii lillaahirabbil-aalamiin. laa syariikalahu wa bidzaalika umirtu wa ana minal-muslimiin.

Baca juga hukum iqamah

Baca juga pendapat sholat berjamaah

Artinya
Allah maha besar lagi sempurna kebesarannya, segala puji hanya kepunyaan allah, pujian yang banyak, dan maha suci allah diwahtu pagi dan petang. kuhadapkan wajahku (hatiku) kepada tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan keadaan lurus dan menyerahkan diri dan aku bukanlah dari golongan kaum musyrikin. sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk allah, tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu baginya dan dengan itu aku diperintahkan untuk tidak menyekutukan nya, dan aku golongan dari orang muslimin.
Nah itulah doa iftitah yang dapat kami bagikan untuk dapat di bacakan setelah takbiratul ihram dalam sholat, silahkan teman - teman pelajari, dan hafalkan, untuk doa iftitah sebenarnya bukan hanya yang di atas saja, namun masih ada lagi doa iftitah yang lainnya, silahkan teman-teman dapat mencari referensi yang lainya. Semoga apa yang ada di belajarsunnahbersama dapat membantu. 

Pengertian, hukum dan sifat iqamah

Terkait dengan iqamah,  apa saja pengertian,  hukum dan sifat iqamah saat kita menjalankan sholat berjamaah di masjid,  berikut pembahasan sederhananya: 



Pengertian Iqamah
Iqamah secara istilah maknanya adalah pemberitahuan atau seruan bahwa sholat akan segera didirikan dengan menyebut lafazh-lafazh khusus. [1]
Hukum Iqamah
Hukum iqamah sama dengan hukum adzan, yaitu fardu kifayah. Dan hukum ini juga tidak berlaku untuk wanita. [2]
Sifat Iqamah
Ada dua cara iqamah [3]:
1. Dengan sebelas kalimat [4], yaitu :
2x اَللهُ اَكْبَرُ
1x اَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ
1x اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ
1x حَيَّ عَلَي الصَّلاَةِ
1xحَيَّ عَلَي الْفَلاَحِ
2xقَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
2x اَللهُ اَكْبَرُ
1x لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ
2. Dengan tujuh belas kalimat [5], yaitu :
 4xاَللهُ اَكْبَرُ
2x اَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ
2x اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ
2x حَيَّ عَلَي الصَّلاَةِ
2x حَيَّ عَلَي الْفَلاَحِ
2x قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
2x اَللهُ اَكْبَرُ
1x لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ
Lalu apakah yang melaksanakan Iqamah Harus Orang yang Mengumandangkan Adzan?
Sebagian besar ulama’ sepakat mengatakan hukumnya adalah hanya anjuran dan tidak diwajibkan, sebagaimana kebiasaan Sahabat Bilal, beliau yang adzan beliau pula yang iqamah. Dan boleh hukumnya jika yang adzan dan iqamah berbeda. [6]

Baca juga tata cara adzan

Baca juga hukum dan doa iftitah

Catatan kaki

[1] Lihat Taudihul Ahkam Syarah Bulughul Maram, Cetakan Darul Mayman, Jilid I, halaman 573, karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[2] Ulama’ yang berpendapat bahwa adzan hukumnya adalah fardu kifayah maka mereka juga berpendapat iqomah hukumnya adalah fardu kifayah. Begitu juga dengan ulama’ yang berpendapat bahwa adzan itu sunnah muakkad, maka iqomah juga sunnah muakkad. Lihat Taisirul ‘Alam Syarah ‘Umdatul Ahkam, hal 85,  cetakan Maktabah Al Asadi dan Taudihul Ahkam Syarah Bulughul Marom, Cetakan Darul Mayman, Jilid I, halaman 573, keduanya Karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 254, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[4] Berdasarkan hadits hasan yang diriwayatkan oleh Abu Daud (499), At Tirmidzi (189), Ibnu Majah (706), dan lain-lain.
[5] Hal ini berdasarkan sebuah hadits hasan dari Sahabat Abi Mahdzurah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (500-503), At Tirmidzi (192), Ibnu Majah (709), dan An Nasa’i (II/4)
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 255, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.

Sunday, September 30, 2018

Tata cara adzan

Adzan merupakan salah satu di antara amalan yang utama di dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
“Imam sebagai penjamin dan muadzin (orang yang adzan) sebagai yang diberi amanah, maka Allah memberi petunjuk kepada para imam dan memberi ampunan untuk para muadzin” [1]
Di bawah ini terdapat sedikit penjelasan  berkaitan dengan tata cara adzan.


Pengertian Adzan
Secara bahasa adzan berarti pemberitahuan atau seruan. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat At Taubah Ayat 3:
 وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ
“dan ini adalah seruan dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia”
Makna adzan adapun secara istilah adalah seruan yang menandai masuknya waktu shalat lima waktu dan dilafazhkan dengan lafazh-lafazh tertentu. [2]
Hukum Adzan
Terdapat perbedaan di kalangan ulama  tentang hukum Adzan. Sebagian ulama mengatakan bahwa hukum azan adalah sunnah muakkad, pendapat lain yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang mengatakan hukum adzan adalah fardu kifayah[3]. Tetapi perlu kita ingat, hukum ini tidak berlaku bagi wanita, wanita tidak diwajibkan atau pun disunnahkan untuk melakukan adzan[4].

Baca juga hukum iqamah

Syarat Adzan[5]
1.      Telah Masuk Waktu Shalat
Syarat sah adzan adalah telah masuknya waktu shalat, adzan yang dilakukan sebelum waktu solat masuk adalah tidak sah. Akan tetapi ada pengecualian terhadap adzan subuh. Yaitu Adzan subuh diperbolehkan untuk dilaksanakan dua kali, sebelum waktu subuh masuk dan ketika waktu subuh masuk (terbitnya fajar shadiq). [6]
2.      Berniat adzan
Seseorang yang akan melakukan Adzan Hendaknya berniat di dalam hatinya (tidak dengan lafazh tertentu) bahwa orang tersebut akan melakukan adzan ikhlas untuk Allah semata.
3.      Dikumandangkan dengan bahasa arab
Tidak sah adzan jika menggunakan bahasa selain bahasa arab, merupakan pendapat sebagian ulama. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ulama dari Madzhab Hanafiah, Hambali, dan Syafi’i.
4.      Tidak ada lahn dalam pengucapan lafadz adzan yang merubah makna
Lafadz-lafadz adzan harus diucapkan dengan jelas dan benar.
Maksudnya adalah hendaknya adzan harus terbebas dari kesalahan-kesalahan pengucapan yang hal tersebut bisa merubah makna adzan.
5.      Lafadz-lafaznya diucapkan sesuai urutan
Sebaiknya lafadz-lafadz adzan diucapkan sesuai urutan sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits yang sahih.
6.      Lafadz-lafadznya diucapkan bersambung
Maksudnya adalah hendaknya antara lafazh adzan yang satu dengan yang lain diucapkan secara bersambung tanpa dipisah oleh sebuah perkataan atau pun perbuatan di luar adzan. Meski seperti itu tetap diperbolehkan berkata atau berbuat sesuatu yang sifatnya ringan seperti batuk & bersin.
7.      Adzan diperdengarkan kepada orang yang tidak berada di tempat muadzin. 
Adzan yang dikumandangkan oleh muadzin haruslah terdengar oleh orang yang tidak berada di tempat sang muadzin melakukan adzan. Di zaman sekarang hal tersebut bisa dilakukan dengan cara mengeraskan suara atau dengan alat pengerasa suara.


Sifat Muadzin
1.      Muslim
Tidak sah adzan yang dilakukan oleh bukan oleh seorang muslim.
Diisyaratkan bahwa seorang muadzin haruslah seorang muslim. Lafadz-lafadz adzan harus diucapkan dengan jelas dan benar. [7]
2.      Ikhlas hanya mengharap wajah Allah
Sepatutnya seorang muadzin melakukan adzan dengan niat ikhlas mengaharap wajah Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda : “Tetapkanlah seorang muadzin yang tidak mengambil upah dari adzannya itu.”[8]
3.      Adil dan amanah
Yaitu hendaklah muadzin adil dan amanah dalam waktu-waktu shalat.
4.      Memiliki suara yang bagus
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepada sahabat Abdullah bin Zaid: “pergilah dan ajarkanlah apa yang kamu lihat (dalam mimpi) kepada Bilal, sebab ia memiliki suara yang lebih bagus dari pada suaramu” [9]
5.      Mengetahui kapan waktu solat masuk
Hendaknya seorang muadzin mengetahui kapan waktu solat masuk sehingga ia bisa mengumandangkan adzan tepat pada awal waktu dan terhindar dari kesalahan. [10]
Sifat Adzan [11]

Baca juga tata cara sholat tahiyatul masjid

Terdapat tiga cara adzan, yaitu :
1. Adzan dengan 15 kalimat, yaitu dengan lafazh [12]:
4x اَللهُ اَكْبَرُاَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ ×2
اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ ×2
حَيَّ عَلَي الصَّلاَةِ ×2
حَيَّ عَلَي الْفَلاَحِ ×2
2x اَللهُ اَكْبَرُ
1x لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ
Adzan seperti ini adalah cara yang dipilih oleh abu hanifah dan imam ahmad.
2. Adzan dengan 19 kalimat [13], tidak jauh berbeda seperti adzan cara  pertama akan tetapi ditambah dengan tarji’ (pengulangan) pada syahadatain. Tarji’ adalah mengucapkan syahadat dengan suara pelan –tetapi masih terdengar oleh orang-orang yang hadir- kemudian mengulanginya kembali dengan suara keras. Jadi lafazah “asyhadu alla ilaaha illallaah”dan“asyhadu anna muhammadarrasulullah”masing-masing diucapkan empat kali. Adzan seperti ini adalah cara yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i.
3. Adzan dengan 17 kalimat, yaitu sama dengan cara adzan kedua akan tetapi takbir pertama hanya diucapkan dua kali, bukan empat kali. Adzan seperti ini adalah cara yang dipilih oleh Imam Malik dan sebagian Ulama’ Madzhab Hanafiah. Akan tetapi menurut penulis Shahiq Fiqh Sunnah, hadits yang menjelaskan kaifiyat ini adalah hadits yang tidak sahih. Sehingga adzan dengan cara ini tidak disyariatkan.
Yang Dianjurkan bagi Muadzin
1.      Adzan dalam keadaan suci
Berdasarkan dalil-dalil umum yang menganjurkan agar manusia dalam keadaan suci ketika berdizikir (mengingat) kepada Allah.
2.      Adzan dalam keadaan berdiri
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salamdalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar : “berdiri wahai bilal! Serulah manusia untuk melakukukan solat!”
3.      Adzan menghadap kiblat
Posisi muadzin menghadap ke arah kiblat
4.      Memasukkan jari ke dalam telinga
Ini adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh sahabat Bilal ketika adzan. [14]
5.      Menyambung tiap dua-dua takbir
Maksudnya adalah menyambungkan kalimat Allahu akbar-allahu akbar, tidak dijeda antara keduanya. [15]
6.      Menolehkan kepala ke kanan ketika mengucapakan “hayya ‘alas shalah”dan menolehkan kepala ke kiri ketika mengucapakan “hayya ‘alal falah”. [16]
7.      Menambahkan “ash shalatu khairum minannaum” pada azan subuh. [17]

Catatan Kaki
[1] Hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud (1203), At Tirmidzi (207), dan Ahmad (II/283-419).
[2] Lihat Taisirul ‘Alam Syarah ‘Umdatul Ahkam, hal 84,  cetakan Maktabah Al Asadi, Karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[3] Diantara ulama yang berpendapat bahwa hukum adzan adalah fardu kifayah adalah sebagian Ulama’ Mazhab Malikiyah dan Syafi’iah, Imam Ahmad, Atha’ bin Abi Robah, Mujahid, Al Auza’i, Ibnu Hazm, dan Ibnu Taimiyah. Sedangkan ulama’ yang berpendapat hukumnya adalah sunnah muakkad adalah Imam Abu Hanifah, sebagian Ulama’ Madzhab Syafi’iah dan Malikiyah. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I,halaman 240,karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[4] Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari Sahabat Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda “Tidak ada adzan dan iqomah bagi wanita”
[5] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I,halaman 243, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[6] Ulama’ berselisih pendapat tentang hukum adzan sebelum waktu subuh tiba. Pendapat yang benar adalah hal tersebut dianjurkan. Ulama’ yang berpendapat bahwa hal tersebut dianjurkan diantaranya adalah Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq, Abu Tsauri, Abu Yusuf, dan Ibnu Hazm.
[7] Lihat Taudihul Ahkam Syarah Bulughul Maram, Cetakan Darul Mayman, Jilid I, halaman 605, karya Karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[8] Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud (531), At Tirmidzi (672), Ibnu Majah (714), dan An Nasa-i (672)
[9] Hadits Hasan diriwayatkan oleh Abu Daud (499), At Tirmidzi (189), Ibnu Majah (706), dan lain-lain.
[10] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 247, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[11] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 247, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[12]Hadits Hasan diriwayatkan oleh Abu Daud (499), At Tirmidzi (189), Ibnu Majah (706), dan lain-lain.
[13] Hal ini berdasarkan sebuah hadits hasan dari Sahabat Abi Mahdzuroh yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (500-503), At Tirmidzi (192), Ibnu Majah (709), dan An Nasa’i (II/4).
[14] Hadits Shahih diriwayatkan oleh At Tirmidzi (197) dan Ahmad (IV/308).
[15] Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Umar bn Khattab oleh Imam Muslim (385) dan Abu Dawud (523).
[16] Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari (187) dan Muslim (503) dari Sahabat Abu Juhaifah.

[17] Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad (16043), Abu Dawud (499),  At Tirmidzi (189), dan Ibnu Khuzaimah (386) dari Sahabat Anas bin Malik.



Saturday, September 29, 2018

Tata Cara Shalat Tahiyatul Masjid

Apa dan bagaimana tata cara shalat tahiyatul masjid, pada prinsipnya shalat tahiyatul masjid dilaksanakan sebagaimana shalat wajib. hanya aspek-aspek tertentu saja perbedaanya. Karena itu tidaklah sulit melaksanakan shalat tahiyatul masjid jika memang dilandasi niat yang kuat, sangat mudah dan sesuai dengan apa yang biasanya kita lakukan di shalat lainnya. Berikut adalah tata cara pelaksanaan shalat tahiyatul masjid.



  1. Hukum Shalat

Telah sebagaimana dijelaskan diatas, shalat tahiyatul masjid bersifat sunnah bukan wajib. Akan tetapi sunnah ini adalah sunnah muakad atau sunnah yang sangat dianjurkan. Selain dapat untuk menambah pahala, shalat sunnah tahiyatul masjid juga dapat menjadikan kita lebih menghargai rumah Allah dan masjid sebagai tempat suci untuk beribadah.

Tetapi yang perlu kita ketahui adalah walaupun ibadah sunnah, akan tetapi shalat memiliki keutamaan. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadist, “Shalat itu sebaik-baik perbuatan, baik sedikit maupun banyak.” (HR Ibnu Majah)

  1. Waktu Pelaksanaan

Kapan pelaksanaanya? pelaksanaan shalat tahiyatul masjid bisa dilakukan kapan saja selagi kita memasuki masjid. Sebelum duduk atau melakukan shalat lainnya, maka shalat tahiyatul masjid bisa dilakukan. Ibaratnya seperti pertama masuk masjid, maka hal pertama setelah berwudhu yang bisa dilakukan adalah shalat tahiyatul masjid.

  1. Jumlah Rakaat

Shalat tahiyatul masjid disyariatkan hanya 2 rakaat saja. Selebihnya tidak dijelaskan lagi dalam hadist, dan bisa melaksanakan shalat lainnya di shalat wajib atau sunnah selain tahiyatul masjid.

Tentu saja shalat-shalat sunnah lainnya bisa kita laksankaan seperti shalat rawatib, dan sebagainya. Untuk diingat bahwa pahala dari shalat sangatlah tinggi, sebagaimana disampaikan oleh hadist Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha yang merupakan istri Raslullah, “Seorang hamba yang muslim melakukan shalat sunnah yang bukan wajib, karena Allah, (sebanyak) dua belas rakaat dalam setiap hari, Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah (istana) di surga.” (Kemudian) Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha berkata, “Setelah aku mendengar hadits ini aku tidak pernah meninggalkan shalat-shalat tersebut.”

Baca juga adab masuk masjid

  1. Berwudhu

Sebagaimana perintah Allah lainnya mengenai shalat, tentu saja sebelum melaksanakan shalat adalah berwudhu. Walaupun shalat tahiyatul masjid itu adalah sunnah, tetapi wajib bagi kita untuk berwudhu. Maka dari itu adalah syarat sah shalat yang harus diikuti. Jika tidak berwudhu maka hilang syarat sah tersebut dan menjadi sia-sia shalat sunnahnya.

Sebagaimana hadist yang disampaikan dari Ibnu Umar RA, “Tidak ada shalat kecuali dengan thoharoh. Tidak ada sedekah dari hasil pengkhianatan.”

  1. Niat

“Sesungguhnya amalan-amalan seseorang tergantung niatnya, dan seseorang  akan mendapatkan balasan sesuai niatnya” (HR Muslim dan Bukhari)

Dalam hadist di atas telah ditunjukkan bahwa segala sesuatu bergantung kepada niatnya. Niat yang baik dan kuat tentu akan menghasilkan ibadah yang baik dan juga sempurna. Untuk itu, niat memang menentukan arah dan tujuan ibadah kita.

Untuk niat, terdapat beberapa ulama yang mengatakan bahwa tidak perlu diucapkan atau dilafadzkan tetapi didalam hati saja. Untuk itu, bisa juga dalam bahasa Indonesia, tidak harus menggunakan bahasa arab. Akan tetapi, ada juga yang mewajibkan bahasa arab sebagaimana Rasulullah. Untuk itu yang paling penting adalah bukan pada bacaan atau tidaknya, tapi kemantapan hati kita untuk beribadah atau tidak. Karena jika hati tidak mantap, tidak lurus, dan kurang ikhlas, tentu menunjukkan niat yang lemah.

Dalam bahasa Indonesia dapat dibaca “Aku sholat sunnah Tahiyatul Masjid dua rakaat karena Allah Ta’ala.”

  1. Pelaksanaan Shalat

Pelaksanaan tahiyatul masjid tidak jauh berbeda dengan sholat fardhu. Pelaksanaan shalat tahiyatul masjid dilaksanakan sebagaimana shalat-shalat wajib lainnya. Dimulai dari bacaan, tata cara hingga proses pelaksanaanya tidak berbeda. Diantaranya adalah :

  • Melakukan Takbiratul Ihram
  • Membaca surat Al Fatihah sebaagai pembuka tau pengawal
  • Membaca Surat-surat pendek lainnya, yang dipilih sesuai dengan kita
  • Melakukan Ruku
  • Melakukan I’tidak
  • Melakukan Sujud
  • Melakukan Duduk Diantara dua sujud
  • Melakukan Sujud Kedua
  • Dan Masuk rakaat Kedua

Untuk Rakaat kedua hal yang dilakukan juga serupa yang berbeda setelah sujud kedua maka duduk tasyahud akhir dan memberikan salam.

Walaupun shalat tahiyatul masjid bersifat sunnah, akan tetapi shalat tahiyatul masjid juga wajib dilaksanakan dengan khusyuk, tumaninah, dan sesuai dengan syariat. Bukan saja hanya asal-asalan atau sekedar melaksanakan. Dengan niat  ikhlas dan tujuan yang lurus akan membuat shalat kita menjadi sempurna dan lebih bernilai dihadapan Allah SWT. Dan Allah tidak menilai hanya dari sekedar 1 kali pelaksanaan namun juga kekonsistenan kita.

Baca juga tata cara adzan


Amal ibadah yang istiqomah atau konsisten tentu lebih disenangi Allah daripada melaksanakan sekali saja namun jarang atau tidak pernah lagi dilakukan setelah itu.

Semoga dengan melakukan dan melaksanakan shalat tahiyatul masjid, kita dapat menjadi orang-orang beriman sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Al-Quran,

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS Al Baqarah : 177)

Semoga kita semua dapat menjalankan ibadah sunnah lainnya. Semoga Allah menggolongkan kita sebagai hamba-Nya yang senantiasa beribadah, mengikuti dan menjalankan sunnah Rasul dan melaksanakan apa yang menjadi syariatnya.

Tuesday, September 18, 2018

4 Adab masuk masjid

Adab Masuk Masjid

Bagaimana adab saat kita hendak masuk ke dalam masjid, ada  adab atau cara yang baik untuk memasuki masji, berikut merupakan 4 adab masuk ke dalam masjid:

1. Mendahulukan kaki kanan
Di dalam hukum islam, terdapat cara untuk memasuki masjid yang pertama kali harus dilakukan adalah dengan menggunakan kaki kanan. Seperti yang telah diajarkan oleh Rasulullah untuk melakukan segala sesuatu yang baik-baik dimulai dilakukan dengan mendahulukan bagian tubuh sebelah kanan termasuk ketika akan masuk ke tempat ibadah. Memang, tidak ada aturan khusus dalam Al Qur’an mengenai untuk mendahulukan kaki kanan jika masuk ke tempat ibadah umat muslim ini, namun begitu ini merupakan anjuran dari Rasulullah.

2. Membaca doa masuk masjid
Adab atau etika yang kedua ketika akan masuk masjid adalah dengan berdoa. Ada Doa khusus saat akan memasuki masjid.

Doa Ketika Masuk Masjid yaitu:

اَللّهُمَّ افْتَحْ لِيْ اَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

“A‌llahummaf-tahlii abwaaba rahmatika”.

Artinya : “Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu”.

Dengan membaca doa saat masuk masjid, maka Anda telah menghargai kesucian dari tempat ibadah tersebut, selesai berdoa diperbolehkan untuk masuk masjid.

Baca juga doa masuk masjid

3. Shalat sunnah dua rakaat

Setelah masuk dan berdoa maka disunahkan untuk shalat sunah dua rakaat atau yang disebut dengan tahiyatul masjid. Salat ini dilakukan setelah masuk masjid sebelum melakukan sholat fardhu atau sebelum duduk di masjid. Orang yang telah memasuki masjid disunahkan untuk tidak duduk terlebih dahulu tetapi disunnahkan untuk melakukan salat sunah.
Karena sebab itu, jika hendak akan bepergian ke tempat ibadah umat islam ini, pastikan kita dalam keadaan bebas dari hadast (suci) atau sudah berwudhu dari rumah. Hal ini menjadi sangat penting apalagi kalau kita berada di Mekah maka doa masuk ke Masjidil Haram wajib dibaca Sebagai rasa hormat kita ke tempat yang suci tersebut.

4. Berdoa ketika akan keluar masjid dan mendahulukan kaki kiri

Membaca doa tidak hanya ketika masuk masjid saja tapi juga ketika keluar dari tempat ibadah tesebut. Doa masuk masjid dan doa keluar dari masjid berbeda.

Doa Keluar Masjid yaitu :

اَللهُمَّ اِنِّى اَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ

“Allahummaf tahlii abwaaba rohmatika”.

Artinya : “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon keutamaan dari-Mu”.

Selain doa ini, Anda juga bisa berdoa dengan lafal: “Allahuma ini as ‘aluka min fadlika,” yang artinya: “Ya Allah aku meminta karunia Mu“.

Baca juga tata cara shalat tahiyat masjid

Etika masuk masjid dan keluar masjid dalam agama islam telah ada aturannya, jadi mohon dapat dipahami dan dilakukan sesuai yang telah dianjurkan. Di dalam masjid juga harus menjaga ketenangan, hindari untuk berbicara keras ketika berada di dalam masjid. Jika ingin berzikir, lebih baik di dalam hati dan jangan terlalu keras karena bisa mengganggu ketenangan di dalam masjid.
Mudah-mudahan artikel ini dapat bermanfaat bagi kita semua, aamiin.

Tata cara menggunakan siwak sesuai sunnah

TATA CARA MENGGUNAKAN SIWAK SESUAI SUNNAH Assalamu’alaikum kembali bersama belajar sunnah bersama,  kali ini akan di bahas bagaimana men...