Pages

Friday, October 12, 2018

Tata cara menggunakan siwak sesuai sunnah

TATA CARA MENGGUNAKAN SIWAK SESUAI SUNNAH

Assalamu’alaikum kembali bersama belajar sunnah bersama,  kali ini akan di bahas bagaimana menggunakan siwak sesuai sunnah sehingga di harapkan penggunaan siwak dapat lebih bermanfaat, lalu bagaimana tata cara penggunaan kayu siwak tersebut sesuai sunnah.

Padahal didalam kitab para ulama telah menerangkan tata cara penggunaan siwak ini sesuai sunnah nabi, yaitu dengan cara menjadikan jari kelingking dari tangan kanan di bawah ujung paling bawah dari siwak tersebut, dan jari manis, jari tengah dan jari telunjuk diletakkan di atasnya sedangkan ibu jarinya diletakkan di bawah ujung paling atas dari siwak itu.

 Juga sunnah unttuk membaca niat bersiwak seperti berikut:

 “Saya niat bersiwak karena Allah Ta’ala”.




Dan cara yang sunnah dalam memakainya adalah dengan menggunakan diantara gigi dengan cara menggosokkan siwak itu melebar dari arah kanan ke kiri, dimulai dari bagian giginya yang sebelah kanan lalu yang sebelah kiri seperti angka delapan 8, jadi dimulai dari atas sebelah kanan kita gosokkan sampai ke ujungnya kemudian kearah bawahnya dan kita gosokkan kearah tengah, dan setelah sampai ditengah kita angkat lagi keatas dari giginya yang sebelah kiri lalu kita gosokkan sampai di ujungnya setelah itu kita arahkan ke bagian bawah digosokkan kearah tengah dan begitu seterusnya, bukan dengan cara menggosokkan dari atas ke bawah karena hal itu akan menyebabkan giginya akan berdarah.

Perlu diperhatikan, sunnah hukumnya agar siwak yang dipakai tidak lebih dari ukuran sekilan tangan manusia dan tidak kurang dari empat jari panjangnya, sedangkan besar kecilnya disunnahkan untuk tidak lebih kecil dari jari kelingking dan tidak lebih besar dari ibu jari. Begitu pula disunnahkan untuk menelan air ludah yang bercampur dengan getah dari kayu arok tatkala digunakan pertama kali akan tetapi tidak disunnahkan untuk menghisap ujung siwak setelah menggunakannya. Dan juga sunnah hukumnya membersihkan gigi dengan tusuk gigi sebelum dan sesudah bersiwak, dan makruh hukumnya jika mencelupkan siwak tersebut ke dalam air yang akan digunakan untuk wudlu’nya, begitu pula makruh hukumnya menggunakan siwak tersebut dari dua sisi (atas dan bawah sama-sama digunakan)




Ketika bersiwak maka sunnah hukumnya membaca doa saat memakai siwak seperti 

ALLAHUMMA BAYYIDL BIHI ASNAANII WA;SYUDDA BIHI LITSTSATII WA;TSABBIT BIHI LAHAATII WA;AFSHIH BIHI LISAANII WABAARIK LII FIIHI WA;ATSBITNII ‘ALAIHI YAA ARHAMARROOHIMIIN

“Ya Allah putihkan gigiku dan kuatkan gusiku, serta kuatkan lahatku (daging yang tumbuh di atas langit-langit mulut) dan fasihkan lidahku dengan siwak itu serta berkatilah siwak tersebut dan berilah pahala aku karenanya, wahai Dzat paling mengasihi diantara para pengasih”.

Demikian postingan dari belajar sunnah bersama yang dirangkum dari berbagai sumber semoga dapat bermanfaat. 

 

Tuesday, October 2, 2018

4 Pendapat terkait sholat berjamaah

Terkait sholat berjamaah di kalangan ulama berkembang banyak pendapat tentang hukum shalat berjamaah. Ada yang mengatakan fardhu `ain, sehingga orang yang tidak ikut shalat berjamaah berdosa. Ada yang fardhu kifayah sehingga bila sudah ada shalat jamaah, gugurlah kewajiban orang lain untuk harus shalat berjamaah. Ada yang bilang bahwa shalat jamaah hukumnya fardhu kifayah. Dan ada juga yang mengatakan hukumnya sunnah muakkadah.



Berikut 4 pendapat terkait sholat berjamaah  beserta dalil masing-masing.
1. Pendapat Pertama: Fardhu Kifayah
Yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Asy-Syafi`i dan Abu Hanifah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam kitab Al-Ifshah jilid 1 halaman 142. Demikian juga dengan jumhur (mayoritas) ulama baik yang lampau (mutaqaddimin) maupun yang berikutnya (mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat kebanyakan ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah.
Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada yang menjalankannya, maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya. Sebaliknya, bila tidak ada satu pun yang menjalankan shalat jamaah, maka berdosalah semua orang yang ada di situ. Hal itu karena shalat jamaah itu adalah bagian dari syiar agama Islam.
Dari Abi Darda` ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya." (HR Abu Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan)
Dari Malik bin Al-Huwairits bahwa Rasulullah SAW, `Kembalilah kalian kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka shalat dan perintahkan mereka melakukannya. Bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah seorang kalian melantunkan azan dan yang paling tua menjadi imam.(HR Muslim 292 – 674).
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR Muslim 650, 249)
Al-Khatthabi dalam kitab Ma`alimus-Sunan jilid 1 halaman 160 berkata bahwa kebanyakan ulama As-Syafi`i mengatakan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu `ain dengan berdasarkan hadits ini.
2. Pendapat Kedua: Fardhu `Ain
Yang berpendapat demikian adalah Atho` bin Abi Rabah, Al-Auza`i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al-Hanafiyah dan mazhab Hanabilah. Atho` berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan tidak halal selain itu, yaitu ketika seseorang mendengar azan, haruslah dia mendatanginya untuk shalat. (lihat Mukhtashar Al-Fatawa Al-MAshriyah halaman 50).
Dalilnya adalah hadits berikut:
Dari Aisyah ra berkata, `Siapa yang mendengar azan tapi tidak menjawabnya (dengan shalat), maka dia tidak menginginkan kebaikan dan kebaikan tidak menginginkannya. (Al-Muqni` 1/193)
Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat jamaah tanpa uzur, dia berdoa namun shalatnya tetap syah.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api." (HR Bukhari 644, 657, 2420, 7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).

Hukum dan dia iftitah

3. Pendapat Ketiga: Sunnah Muakkadah
Pendapat ini didukung oleh mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah sebagaimana disebutkan oleh imam As-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar jilid 3 halaman 146. Beliau berkata bahwa pendapat yang paling tengah dalam masalah hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah. 
Al-Karkhi dari ulama Al-Hanafiyah berkata bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya kecuali karena uzur. Dalam hal ini pengertian kalangan mazhab Al-Hanafiyah tentang sunnah muakkadah sama dengan wajib bagi orang lain. Artinya, sunnah muakkadah itu sama dengan wajib. (silahkan periksan kitab Bada`ius-Shanai` karya Al-Kisani jilid 1 halaman 76).
Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah dalam kitabnya Al-Mukhtashar mengatakan bahwa shalat fardhu berjamaah selain shalat Jumat hukumnya sunnah muakkadah. Lihat Jawahirul Iklil jilid 1 halama 76.
Dalil yang mereka gunakan untuk pendapat mereka antara lain adalah dalil-dalil berikut ini:
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR Muslim 650, 249)
Ash-Shan`ani dalam kitabnya Subulus-Salam jilid 2 halaman 40 menyebutkan setelah menyebutkan hadits di atas bahwa hadits ini adalah dalil bahwa shalat fardhu berjamaah itu hukumnya tidak wajib.
Selain itu mereka juga menggunakan hadits berikut ini:
Dari Abi Musa ra berkata bahwa Rasulullah SAw bersabda, `Sesungguhnya orang yang mendapatkan ganjaran paling besar adalah orang yang paling jauh berjalannya. Orang yang menunggu shalat jamaah bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur. (lihat Fathul Bari jilid 2 halaman 278)
4. Pendapat Keempat: Syarat Syahnya Shalat
Pendapat keempat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum syarat fardhu berjamaah adalah syarat syahnya shalat. Sehingga bagi mereka, shalat fardhu itu tidak syah kalau tidak dikerjakan dengan berjamaah.
Yang berpendapat seperti ini antara lain adalah Ibnu Taymiyah dalam salah satu pendapatnya (lihat Majmu` Fatawa jilid 23 halaman 333). Demikian juga dengan Ibnul Qayyim, murid beliau. Juga Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa serta mazhab Zhahiriyah (lihat Al-Muhalla jilid 4 halaman 265). Termasuk di antaranya adalah para ahli hadits, Abul Hasan At-Tamimi, Abu Al-Barakat dari kalangan Al-Hanabilah serta Ibnu Khuzaemah.
Dalil yang mereka gunakan adalah:
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAw bersaba, `Siapa yang mendengar azan tapi tidak mendatanginya, maka tidak ada lagi shalat untuknya, kecuali karena ada uzur.(HR Ibnu Majah793, Ad-Daruquthuny 1/420, Ibnu Hibban 2064 dan Al-Hakim 1/245)
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak. Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api." (HR Bukhari 644, 657, 2420, 7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW didatangi oleh seorang laki-laki yang buta dan berkata, "Ya Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku ke masjid. Rasulullah SAW berkata untuk memberikan keringanan untuknya. Ketika sudah berlalu, Rasulullah SAW memanggilnya dan bertanya, `Apakah kamu dengar azan shalat?`. `Ya`, jawabnya. `Datangilah`, kata Rasulullah SAW. (HR Muslim 1/452).
Kesimpulan:
Setiap orang bebas untuk memilih pendapat manakah yang akan dipilihnya. Dan bila kami harus memilih, kami cenderung untuk memilih pendapat menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah muakkadah, karena jauh lebih mudah bagi kebanyakan umat Islam serta didukung juga dengan dalil yang kuat. Meskipun demikian, kami tetap menganjurkan umat Islam untuk selalu memelihara shalat berjamaah, karena keutamaannya yang disepakati semua ulama.

Monday, October 1, 2018

Hukum dan doa iftitah

Hukum dan doa iftitah
Doa iftitah 
Adalah doa pembuka yang dibacakan pada saat sholat, tepatnya pada saat setelah kita melakukan takbiratul ihram (takbir yang pertama setelah membaca niat), disinilah kita disunahkan untuk dapat membaca doa iftitah ini sebelum kita membaca surat al-fatihah, untuk bacaan doa iftitah lengkap dengan arab dan latinnya kita bisa mempelajarinya pada artikel di bawah ini. 
kita mendapatkan doa iftitah yang diajarkan Rasulullah ternyata cukup beragam. Ada yang pendek, ada yang cukup panjang. Intinya adalah memuji Allah, memuliakan dan menyanjung-Nya. 
Untuk artikel di bawah ini sengaja hanya 1 doa iftitah saja yang di bahas,  yaitu yang banyak digunakan saat menjalankan ibadah sholat. 


Hukum Doa Iftitah
Doa iftitah hukumnya sunnah. Ia termasuk salah satu sunnah dalam sholat. Meskipun demikian, sholat tidak sempurna tanpa doa iftitah. Sebagaimana sabda beliau:
“Sholat seseorang tidak sempurna hingga ia bertakbir memuji Allah dan menyanjungnya kemudian membaca Alquran yang mudah baginya” (HR. Abu Daud dan Hakim; shahih)
Berikut merupakan doa iftitah dalam bahasa Arab dan Latin serta terjemahannya: 



LATINNYA : Allahu akbar kabiiroo wal-hamdu lillaahi katsiiro wa subhaanallaahibukrotaw wa ashiilaa



LATINNYA : Innii wajjahtu wajhiya lil-ladzii fathoros-samaawaati wal ardho haniifam muslilaw wamaa ana minal-musyrikiin.



LATINNYA : Innaa sholaatii wanusukii wamahyaaya wamamaatii lillaahirabbil-aalamiin. laa syariikalahu wa bidzaalika umirtu wa ana minal-muslimiin.

Baca juga hukum iqamah

Baca juga pendapat sholat berjamaah

Artinya
Allah maha besar lagi sempurna kebesarannya, segala puji hanya kepunyaan allah, pujian yang banyak, dan maha suci allah diwahtu pagi dan petang. kuhadapkan wajahku (hatiku) kepada tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan keadaan lurus dan menyerahkan diri dan aku bukanlah dari golongan kaum musyrikin. sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk allah, tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu baginya dan dengan itu aku diperintahkan untuk tidak menyekutukan nya, dan aku golongan dari orang muslimin.
Nah itulah doa iftitah yang dapat kami bagikan untuk dapat di bacakan setelah takbiratul ihram dalam sholat, silahkan teman - teman pelajari, dan hafalkan, untuk doa iftitah sebenarnya bukan hanya yang di atas saja, namun masih ada lagi doa iftitah yang lainnya, silahkan teman-teman dapat mencari referensi yang lainya. Semoga apa yang ada di belajarsunnahbersama dapat membantu. 

Pengertian, hukum dan sifat iqamah

Terkait dengan iqamah,  apa saja pengertian,  hukum dan sifat iqamah saat kita menjalankan sholat berjamaah di masjid,  berikut pembahasan sederhananya: 



Pengertian Iqamah
Iqamah secara istilah maknanya adalah pemberitahuan atau seruan bahwa sholat akan segera didirikan dengan menyebut lafazh-lafazh khusus. [1]
Hukum Iqamah
Hukum iqamah sama dengan hukum adzan, yaitu fardu kifayah. Dan hukum ini juga tidak berlaku untuk wanita. [2]
Sifat Iqamah
Ada dua cara iqamah [3]:
1. Dengan sebelas kalimat [4], yaitu :
2x اَللهُ اَكْبَرُ
1x اَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ
1x اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ
1x حَيَّ عَلَي الصَّلاَةِ
1xحَيَّ عَلَي الْفَلاَحِ
2xقَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
2x اَللهُ اَكْبَرُ
1x لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ
2. Dengan tujuh belas kalimat [5], yaitu :
 4xاَللهُ اَكْبَرُ
2x اَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ
2x اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ
2x حَيَّ عَلَي الصَّلاَةِ
2x حَيَّ عَلَي الْفَلاَحِ
2x قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
2x اَللهُ اَكْبَرُ
1x لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ
Lalu apakah yang melaksanakan Iqamah Harus Orang yang Mengumandangkan Adzan?
Sebagian besar ulama’ sepakat mengatakan hukumnya adalah hanya anjuran dan tidak diwajibkan, sebagaimana kebiasaan Sahabat Bilal, beliau yang adzan beliau pula yang iqamah. Dan boleh hukumnya jika yang adzan dan iqamah berbeda. [6]

Baca juga tata cara adzan

Baca juga hukum dan doa iftitah

Catatan kaki

[1] Lihat Taudihul Ahkam Syarah Bulughul Maram, Cetakan Darul Mayman, Jilid I, halaman 573, karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[2] Ulama’ yang berpendapat bahwa adzan hukumnya adalah fardu kifayah maka mereka juga berpendapat iqomah hukumnya adalah fardu kifayah. Begitu juga dengan ulama’ yang berpendapat bahwa adzan itu sunnah muakkad, maka iqomah juga sunnah muakkad. Lihat Taisirul ‘Alam Syarah ‘Umdatul Ahkam, hal 85,  cetakan Maktabah Al Asadi dan Taudihul Ahkam Syarah Bulughul Marom, Cetakan Darul Mayman, Jilid I, halaman 573, keduanya Karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 254, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[4] Berdasarkan hadits hasan yang diriwayatkan oleh Abu Daud (499), At Tirmidzi (189), Ibnu Majah (706), dan lain-lain.
[5] Hal ini berdasarkan sebuah hadits hasan dari Sahabat Abi Mahdzurah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (500-503), At Tirmidzi (192), Ibnu Majah (709), dan An Nasa’i (II/4)
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 255, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.